Beberapa ahli sejarah berpendapat tentang alasan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Empu Sindok. Pertama, karena adanya serangan dari Sriwijaya sebagai bentuk hukuman kepada bhumi Jawa. Kedua, adanya bencana alam berupa gunung meletus, mengingat banyak kita temukan gunung berapi di Jawa Tengah.
Kerajaan baru yang dipindahkan Empu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tetap bernama Mataram. Hal itu seperti yang disebutkan dalam Prasasti Paradah yang berangka tahun 865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (973 M).
Letak ibu kota kerajaannya tidak ada sumber yang pasti menyebutkan. Berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang disebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Watugaluh. Kemungkinan ibu kota itu berada di Desa Watugaluh sekarang, dekat Jombang di tepi Sungai Brantas. Akan tetapi, berdasarkan Prasasti Taryyan yang berangka tahun 851 Saka (929 M) disebutkan bahwa ibu kota Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Tomwlang. Diperkirakan nama Tomwlang identik dengan nama desa di Jombang (Jawa Timur).

Bidang Politik
Silsilah raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, antara lain sebagai berikut :
1)      Empu Sindok (929–947)
Setelah naik takhta pada tahun 929, Empu Sindok bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmattunggadewa. Dia naik takhta karena menikahi putri Wawa. Namun, Empu Sindok menganggap dirinya sebagai pembentuk dinasti baru, yaitu Dinasti Isana. Empu Sindok merupakan peletak batu pertama berdirinya kerajaan besar di Jawa Timur.
Empu Sindok berpengalaman mengatur kerajaan sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan lancar, aman, dan tertib. Dengan demikian, perekonomian rakyatnya pun makin baik Empu Sindok banyak meninggalkan prasasti. Bahkan, ia pun merestui usaha menghimpun kitab suci agama Buddha Tantrayana. Ini membuktikan betapa besar toleransinya terhadap agama lain dan perhatiannya terhadap bidang sastra. Kitab tersebut berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang berisi ajaran dan tata cara beribadah agama Buddha.
2)      Sri Isanatunggawijaya
Setelah Empu Sindok wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh putrinya, Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala. Perkawinan tersebut melahirkan Makutawangsawardhana yang nantinya menggantikan ibunya memerintah di Watugaluh atau di Tomwlang.
Masa pemerintahan dan apa yang diperbuat oleh kedua raja tersebut tidak banyak yang kita ketahui. Makutawangsawardhana mempunyai putri cantik, yaitu Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni). Putri itu kemudian menikah dengan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali.
3)      Dharmawangsa (991–1016)
Pengganti Raja Makutawangsawardhana ialah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa. Siapa sebenarnya Dharmawangsa itu sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Ada yang menduga bahwa Dharmawangsa adalah kakak Mahendradatta putra Makutawangsawardhana. Nama Dharmawangsa dikenal dari kitab Wirataparwa yang disadur ke dalam bahasa Jawa Kuno atas perintah Dharmawangsa.
Kitab Wirataparwa merupakan bagian dari kitab Mahabharata yang terdiri atas 18 bagian. Isi pokok kitab itu adalah kisah perang besar antarkeluarga Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa. Kitab Mahabharata digubah oleh Pendeta Wyasa Kresna Dwipayana. Di samping itu, pada tahun 991 disusun kitab hukum Siwasasana.
Dharmawangsa adalah seorang raja yang cakap dan punya cita-cita besar. Ia ingin menguasai seluruh Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Dharmawangsa juga ingin mengembangkan perekonomiannya melalui perdagangan laut. Untuk mewujudkan cita-citanya, Dharmawangsa segera membangun armada laut yang kuat. Pada masa itu pada saat bersamaan di Sumatra telah berdiri Kerajaan Sriwijaya yang telah berkembang besar dan menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Selat Sunda, dan pesisir barat Sumatra. Hal itu dianggap sebagai saingan berat dan penghalang cita-cita Dharmawangsa. Oleh karena itu, Sriwijaya harus dimusnahkan.
Pada tahun 990 Dharmawangsa mengirimkan pasukannya untuk menyerbu Sriwijaya dan Semenanjung Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil menduduki beberapa daerah pantai Sriwijaya dan memutuskan hubungan Sriwijaya dengan dunia luar. Kejadian itu dibenarkan oleh sumber berita dari Cina (992) yang menyebutkan bahwa utusan Sriwijaya ke Cina tidak dapat kembali (berhenti di Kanton) karena Sriwijaya diduduki musuh. Sriwijaya menjadi lemah, tetapi secara diam-diam melakukan gerakan bawah tanah (subversi) ke Jawa dan menghasut adipati (raja bawahan) yang kurang loyal terhadap Dharmawangsa agar bersedia memberontak. Usaha itu rupanya termakan juga oleh seorang adipati yang bernama Wurawari (dari daerah sekitar Banyumas sekarang). Dalam peristiwa penyerbuan ke Kerajaan Dharmawangsa itu ternyata ada tokoh penting yang berhasil lolos dari maut. Dia adalah Airlangga, putra Mahendradatta (dari Bali) yang saat itu sedang dinikahkan dengan putri Dharmawangsa.
Airlangga berhasil menyelamatkan diri masuk hutan ditemani pengiringnya yang setia, Narottama. Setelah keadaan kembali tenang, Airlangga didatangi oleh para pendeta dan brahmana. Mereka meminta Airlangga agar bersedia dinobatkan menjadi raja. Permintaan itu mula-mula ditolak dan baru pada tahun 1019 Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa.
4)      Pemerintahan Airlangga
Airlangga setelah naik takhta bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Awalnya, Airlangga hanya merupakan raja kecil dengan daerah kekuasaan yang sangat terbatas. Raja-raja bawahan Dharmawangsa tidak mau mengakui kekuasaan Airlangga. Setelah berjuang dan berperang selama tujuh tahun, pada tahun 1035 Airlangga berhasil menyatukan kembali wilayah kerajaannya dan pusat kerajaan dipindahkan ke Kahuripan (1037).

Bidang Sosial budaya
Kehidupan keagamaan pada masa pemerintahan Airlangga pun diperhatikan. Hal itu diwujudkan, antara lain dengan mendirikan tempat pemujaan dan pertapaan, misalnya Pertapaan Pucangan di lereng Gunung Penanggungan. Terjadi pula perkembangan di bidang sastra.
Pada masa itu telah dihasilkan karya sastra dengan judul Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa pada tahun 1035. Kitab itu berisi kisah kiasan terhadap kehidupan Raja Airlangga yang diidentifikasikan sebagai tokoh Arjuna. Agama yang berkembang pada saat itu ialah Hindu aliran Wisnu atau Waisnawa sehingga Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu yang bertugas memelihara perdamaian dunia.

Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Dharmawangsa, pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan itu dilakukan dengan membuat saluran irigasi serta memperbaiki tanggul Sungai Brantas di Waringin Sapta, Pelabuhan Ujung Galuh, dan Kembang Putih di Tuban. Hal itu dimaksudkan untuk memperlancar pelayaran dan perdagangan laut dengan dunia luar, seperti India, Burma (Myanmar), dan Kampuchea
Airlangga mempunyai beberapa orang putra. Putra sulungnya seorang putrid bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi. Dialah yang dicalonkan menjadi pengganti Airlangga. Akan tetapi, ia tidak bersedia dan lebih suka menjadi seorang pertapa yang kemudian terkenal dengan nama Dewi Kilisuci. Setelah putrinya mengundurkan diri dari hal-hal duniawi, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri). Hal itu dimaksudkan agar kelak tidak terjadi perang saudara berebut kekuasaan. Pembagian kerajaan dilakukan pada tahun 1041 oleh Empu Bharada.